CH 002 TERLEMPAR KE MASA LALU

 "Geni … Geni .... " Seorang wanita tua tampak menyusuri gelapnya hutan larangan hanya dengan penerangan obor kecil. Wajahnya terlihat khawatir, karena sudah hampir satu jam dia berkeliling hutan namun, tidak menemukan apa yang dicarinya. 

 

Tubuhnya yang kurus dan sudah menua, sesekali terhuyung menandakan tenaganya mulai habis. Dia kemudian menghentikan langkahnya sejenak, untuk memulihkan kembali tenaganya dan mengatur nafas. 

 

"Dasar anak nakal!! Dimana kamu sebenarnya nak?Sudah Ibu bilang jangan main terlalu jauh kedalam hutan," ucap wanita itu khawatir sambil menyandarkan tubuhnya di bawah sebuah pohon besar. 

 

Bulu kuduk wanita itu tiba tiba berdiri ketika teringat beberapa cerita mengerikan tentang hutan itu dari para penduduk desa yang kebetulan melintasi hutan pada malam hari. 

 

Saat wanita itu sedang beristirahat, seorang anak kecil berusia enam tahun tiba-tiba muncul dan mengejutkannya. 

 

"Baaaa!" Ucap anak itu polos sambil menggendong seekor ayam hutan. 

 

"Geni!!! Apa kau tau ini sudah larut malam? Bagaimana jika ibu mati karena terkejut?!" Bentak wanita itu kesal sambil mengambil ranting pohon dan memarahi anak semata wayangnya. 

 

"Maaf Bu, Geni cuma mau cari ayam hutan untuk makan malam kita," wajah Geni langsung pucat setelah ibunya memarahinya habis-habisan. 

 

"Makan malam? Apa kau tau…" Wanita itu menghentikan ucapannya saat melihat wajah polos anaknya yang menunjukkan merasa bersalah. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu tau niatmu baik tapi kamu tetap tidak boleh pergi kehutan ini terutama pada malam hari. Bagaimana jika kamu bertemu dengan setan api?" Ucap wanita itu lembut sebelum memeluk anaknya.

 

"Tapi bu, bukankah setan api hanya .... " Geni tak melanjutkan ucapannya, walau dia tau jika setan api hanya sebuah cerita karangan yang dibuat ibunya untuk menakut-nakutinya namun, kali ini Geni memutuskan untuk tidak mendebatnya. 

 

"Maafkan Geni Bu," ucapnya sambil membalas pelukan Ibunya. 

 

"Ya sudah, ayo kita pulang, perasaan ibu tidak enak malam ini," balas Ibunya sambil melepaskan pelukannya dan menggandeng anak kesayangannya itu. 

 

Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan, sebuah ledakan api tiba-tiba muncul dari dalam hutan larangan. Dalam sekejap, suasana hutan yang sangat gelap berubah menjadi terang untuk beberapa detik sebelum kembali gelap. 

 

"Ibu, api itu .... " 

 

"Ayo pergi! Itu pertanda buruk! Sudah ibu bilang jangan main di hutan ini," potong wanita tua itu sambil mempercepat langkahnya.

 

"Tapi Bu .... " 

 

Wanita itu tak lagi mendengarkan ucapan anaknya, dia terus menyeret Geni setengah berlari menuju desa kecil yang menjadi tempat mereka tinggal selama ini. 

 

Geni yang berlari di sebelah Ibunya tampak kesulitan mengimbangi, dia bahkan beberapa kali hampir terjatuh ke tanah. 

 

"Api itu ... apa mungkin berasal dari air terjun aneh yang tadi kutemukan," ucap Geni dalam hati sambil sesekali menoleh ke belakang. 

 

Ketika Geni dan Ibunya sudah sampai di gerbang Desa, dari arah lain, sesosok tubuh melesat dengan kecepatan tinggi. Dia bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya menerobos gelapnya malam hutan larangan. 

 

Wajahnya langsung berubah saat merasakan aura besar tiba-tiba muncul dari arah ledakan, dia mencabut pedangnya cepat sebelum memusatkan tenaga dalam di matanya. 

 

"Aura ini .... " Pria tua itu menghentikan langkahnya di sebuah pohon besar saat aura besar yang tadi dia rasakan tiba-tiba menghilang. Matanya yang memancarkan sinar kemerahan langsung menyapu area hutan.

 

"Bagaimana bisa aura besar itu menghilang begitu saja?" Ucapnya dalam hati. 

 

Saat matanya masih menyisir area hutan larangan, sesosok tubuh tibatiba muncul di belakangnya sambil melepaskan sebuah pukulan. 

 

"BUGG!" 

 

Sebuah pukulan cepat bersarang di punggungnya tanpa bisa dihindari. Pendekar itu terlempar cukup jauh sebelum memutar tubuhnya dan mendarat dengan sempurna di tanah. 

 

"Tidak mungkin! Aku bahkan tidak merasakan hawa kehadirannya sama sekali," ucap pendekar itu sambil menatap seorang pria berambut putih yang kini berdiri di atas pohon. 

 

Pria berambut putih itu tampak tersenyum sambil mengepalkan tangannya. Walau masih belum bisa menggunakan tenaga dalamnya, dia merasa kecepatannya sudah mulai kembali. 

 

"Sial!! Aku masih belum bisa menggunakan…." Sabrang tampak terkejut saat melihat mata pendekar dihadapannya bersinar terang. "Mata bulan?"

 

"Kau tau tentang mata ini?" Tanya pendekar itu cepat.

 

Sabrang mengangguk pelan, "Aku memiliki sejarah yang cukup panjang dengan mata itu, tapi…" Sabrang terpaksa menghentikan ucapannya saat pendekar misterius itu tiba tiba bergerak menyerang. 

 

"Kau sepertinya sangat percaya diri dengan kemampuan mata itu ya," Sabrang melompat dari atas pohon dan menyambut serangan dengan tangan kosong. 

 

"Melawanku dengan tangan kosong? Apa kepercayaan dirimu tidak terlalu berlebihan?" Ucap pendekar itu kesal, dia langsung menggunakan jurus pedang terbaiknya untuk memberi pelajaran pada Sabrang. 

 

Sabrang tampak semakin bersemangat saat merasakan kecepatan lawan mulai meningkat. Sambil terus bergerak mengikuti serangan lawan, dia mencoba mengenali jurus pedang yang digunakan. 

 

Ketenangan yang ditunjukkan Sabrang berbanding terbalik dengan lawannya, setelah hampir semua serangan pedangnya mampu dipatahkan, wajah pendekar misterius mulai memburuk. 

 

Mata bulan yang selama ini mengantarkannya sebagai salah satu pendekar yang disegani di dunia persilatan seolah tak ada artinya di hadapan Sabrang. Sekuat apapun dia mencoba membaca gerakan dan mencari celah pertahanan, Sabrang selalu bisa menutupinya hanya dengan satu gerakan kecil. 

 

"Wajahnya masih terlihat begitu muda, tapi kemampuannya benar benar tinggi, siapa pemuda ini sebenarnya? Apa mungkin dia hubungan dengan ledakan dan aura besar yang tadi kurasakan," Ucap pendekar itu dalam hati. 

 

Setelah yakin tidak mengenali jurus pedang yang digunakan lawannya, Sabrang akhirnya memutuskan untuk bertanya langsung. 

 

Sabrang mulai melakukan serangan balik, dan hanya dalam beberapa gerakan saja, pendekar misterius yang awalnya berada diposisi menyerang langsung terdesak dengan cepat. 

 

"Gerakannya berubah…" Sadar berada dalam posisi terdesak dengan begitu cepat, pendekar itu mulai berusaha menjaga jarak, namun betapa terkejutnya dia saat mata Sabrang tiba tiba bersinar terang. 

 

"Mata bulan? Tidak, sepertinya itu sedikit berbeda." 

 

"Aku sangat tertarik dengan jurus pedangmu, kelembutan dan variasi serangannya benar benar menakutkan. Sangat disayangkan kau hanya menggunakan pedang itu sebagai alat," Ucap Sabrang sebelum berpindah tempat menggunakan jurus ruang dan waktu, dan mencengkram lengan pendekar itu. 

 

"Pedang ini sangat berbahaya, bisakah kita bicara tanpa bertarung? Banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu." Sabrang kembali melepaskan beberapa pukulan pelan yang membuat tubuh pendekar itu kaku tak bisa digerakkan. 

 

Wajah pendekar itu langsung pucat pasi ketika melihat kecepatan lawannya, bahkan mata yang sangat dibanggakannya selama ini tak mampu melihat gerakan Sabrang. Semangat bertarungnya langsung runtuh seketika di hadapan kekuatan pria berambut putih misterius, yang kini sudah berdiri di hadapannya. 

 

"Katakan padaku, di mana aku sekarang?" Tanya Sabrang pelan. 

 

"Apa kau akan membunuhku setelah menjawab pertanyaan itu?" Balas pendekar itu. 

 

"Aku tidak pernah membunuh orang lain tanpa alasan jelas. Lagipula jika aku ingin, saat ini kau pasti sudah mati," jawab Sabrang cepat. 

 

Pendekar itu terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan Sabrang. "Hutan Larangan." 

 

"Hutan Larangan?" Sabrang mengernyitkan dahinya, dia memang merasa mengenali hutan itu, tapi seingatnya hutan Larangan tidak serimbun ini. "Kau mencoba membohongiku?" Sabrang mulai memusatkan tenaga dalam di jari telunjuk kanannya. 

 

"Aku tidak berbohong, tempat ini memang hutan larangan. Jika kau tidak percaya tanyakan saja pada para penduduk desa Bambu Air," jawab pendekar itu cepat. 

 

"Desa Bambu Air?" Wajah Sabrang semakin bingung, dia sangat yakin tak pernah ada nama Desa Bambu Air di sekitar hutan Larangan. "Apa kau tau jalan menuju keraton Majapahit?" 

 

"Keraton Majapahit? Maaf Tuan, tapi aku tidak pernah mendengar nama itu," jawab pendekar itu. 

 

"Tidak mungkin, berani sekali kau berbohong padaku!" Sabrang yang tak percaya dengan ucapan pendekar itu langsung melepaskan aura besar untuk mengancamnya. "Kau sepertinya memang ingin menguji batas kesabaran ku. Baik, akan .... "

 

"Ada sebuah gulungan di balik pakaianku, ambilah dan baca jika kau tidak percaya padaku," potong pendekar itu panik. 

 

"Gulungan?" Sabrang kembali menarik auranya, dan mengambil gulungan yang terselip di pinggang pendekar itu dan membacanya. 

 

"Jadi aura mengerikan yang tadi kurasakan memang berasal dari pendekar ini?" Ucap pendekar itu dalam hati sambil menelan ludahnya. 

 

"Namamu Segoro Laksi? Lalu, apa yang bisa aku dapatkan dari .... " Sabrang tiba-tiba menghentikan ucapannya saat membaca sesuatu di gulungan itu. 

 

"Perguruan Tapak Merah?"

 

"Benar, aku adalah pendekar dari perguruan Tapak Merah, tidak ada nama Majapahit di tempat ini. Aku benar-benar mengatakan yang sebenarnya, Tuan," jawab Segoro Laksi pelan.

 

"Tidak mungkin, aku sangat yakin tidak pernah mendengar nama perguruan itu, lalu…" Sabrang menghentikan ucapannya ketika merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya. 

 

Rasa sakit itu bahkan membuat tubuh Sabrang bergetar hebat sebelum terjatuh dalam posisi berlutut, dan diantara rasa sakit itu, bayangan pertarungannya dengan Arya muncul dalam pikirannya. 

 

"Benar juga, bukankah aku tadi sedang bertarung dengan Arya, lalu bagaimana .... " Napas Sabrang mulai tak beraturan bersamaan dengan munculnya energi aneh yang meledak ledak didalam tubuhnya. 

 

"Naga Api? Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Naga Api?" Teriak Sabrang dalam pikirannya namun, tidak ada jawaban sama sekali. 

 

"Anda sepertinya sedang terluka parah Tuan, tolong lepaskan totokan ini. Aku akan membawa anda ke Tapak Merah dan mengobati luka dalam itu," ucap Segoro Laksi pelan. 

 

"Diam kau!!!" Teriak Sabrang cepat, dia terlihat memukul mukul kepalanya sebelum pandangannya kembali buram dan roboh ke tanah. 

 

"Gawat, dia tak sadarkan diri ... hei, tolong lepaskan totokan ini dulu, kita bisa dimakan hewan buas jika terus seperti ini?!" Teriak Segoro Laksi panik. 

 

"Sial!!! Aku tidak mau mati di sini," Segoro Laksi memusatkan tenaga dalam di cakra mahkotanya untuk memaksa tubuhnya bergerak. 

 

Dan, apa yang ditakutkan Segoro Laksi akhirnya benar-benar terjadi. Saat dia masih berusaha memaksa tubuhnya bergerak, kumpulan serigala hutan yang lapar tiba-tiba muncul dari semak dan mendekati mereka. 

 

"Tenang, dan berpikirlah!!!" Ucap Segoro Laksi sambil menarik nafasnya. Pandangan matanya menatap tubuh Sabrang, dan serigala hutan itu bergantian. 

 

"Guru, aku menemukan kakang Laksi!" Seorang pemuda muncul dari semak semak dan melempar batu berukuran sedang untuk mengusir kumpulan serigala hutan yang sedang mendekati Segoro Laksi dan Sabrang.

Newest
You are reading the newest post

Posting Komentar

0 Komentar